Melirik Rasa Kebangsaan
Menggagas sebuah sistem pendidikan yang ideal merupakan wacana yang terus mengalami proses. Dalam prakteknya, saat ini sistem pendidikan telah berada pada tahap yang terus membaik. Hal ini dapat diasosiasikan dengan terus berkembangnya metode pengajaran. Pada tataran sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, metode yang digunakan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sedangkan pada beberapa perguruan tinggi, metode yang saat ini dikembangkan merupakan metode Problem Based Learning (PBL). Namun seperti biasa, masing-masing metode tersebut juga menimbulkan sebuah pro dan kontra di kalangan para pengajar dan kritikus pendidikan. Dalam sisi yang positif, perdebatan ini memberikan sebuah proses evaluasi yang terus menerus. Evaluasi tersebut memberikan sebuah solusi dalam proses penyempurnaan metode pendidikan, baik dalam tataran sekolah dasar, sekolah lanjutan, maupun perguruan tinggi.
Ada sebuah semangat yang harus menjadi perhatian para profesional, praktisi, maupun pengamat dunia pendidikan. Semangat tersebut adalah kecintaan terhadap tanah air. Seiring dengan mengentalnya arus globalisasi, identitas kebangsaan dan kecintaan terhadap tanah air terus memudar. Pengembangan pendidikan saat ini meninggalkan ruh moral dan nilai-nilai kebangsaan. Kedua hal tersebut tergantikan oleh kebutuhan globalisasi dan pasar industri dari negara-negara kaya.
Setiap tahapan pendidikan memiliki fungsi dan prinsip pembelajaran masing-masing terhadap rasa kebangsaan. Tahapan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas merupakan sebuah pengantar yang menjadi bekal penting penentuan prinsip seseorang. Namun pergulatan dalam aspek moral dan identitas berkebangsaan merupakan sebuah momentum yang krusial pada seorang mahasiswa. Pada aspek-aspek seperti ini perlu diracik sebuah formula yang tepat sesuai dengan kondisi psikologis seorang mahasiswa.
Bahaya Brain Drain
Dalam perkembangannya, konsep globalisasi menciptakan dehumanisasi yang cukup menghancurkan rasa keadilan dan kemanusiaan. Manusia telah dipandang dangkal sebagai alat produksi bagi negara kaya. Namun salah satu dampak positif globalisasi adalah terbukanya peluang mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan perguruan tinggi di luar negeri dengan bantuan beasiswa dari negara yang dituju. Pada tataran individu hal ini memang merupakan peluang yang sangat baik untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Namun, hal itu dapat berdampak negatif ketika para mahasiswa Indonesia pergi berbondong-bondong ke luar negeri. Masalahnya bukan terletak pada hijrahnya mahasiswa ke luar negeri, tetapi pada komitmen mereka untuk berkontribusi bagi bangsa.
Pada era B.J. Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi, pemerintah pernah berinvestasi besar dengan menyeleksi pelajar lulusan SMA dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka dikirim untuk mempelajari ilmu baru di luar negeri, semisal bioteknologi, komputer, ilmu bahan dan elektronika. Tapi sedikit dari mereka yang pulang atau kembali bekerja di lembaga penelitian Indonesia. Tak sedikit yang justru bekerja di perusahaan asing. Sayangnya, kebanyakan dari mereka bekerja tak sesuai dengan bidang ilmunya. Sehingga bidang-bidang baru yang tadinya diharapkan berkembang tetap belum bisa maju. Fakta ini memberikan bukti tentang rendahnya komitmen membangun bangsa pada mahasiswa yang dikirim ke luar negeri. Ketika seorang mahasiswa telah lebih memilih untuk bekerja di negara lain tanpa mau berkontribusi terhadap bangsanya, maka fenomena inilah yang disebut sebagaibraindrain.(http://www.biotek.lipi.go.id/biotek/index.php?option=content&task=view&id=281&catid=7&Itemid=10 Diakses hari Rabu, tanggal 15 Maret 2007).
Di sisi lain, fenomena ini juga dapat terjadi akibat penghargaan yang rendah dari pemerintahan Indonesia terhadap mahasiswa yang berprestasi. Mereka yang berprestasi merasa tidak dapat berkembang jika berada di Indonesia. Namun tetap saja sebagai anak bangsa kita punya tanggung jawab yang besar dari sekadar mempertanyakan penghargaan pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh John F. Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang dapat bangsa berikan untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan untuk bangsamu.” Pernyataan yang heroik sekaligus menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap bangsa.
Stimulus Berkomitmen bagi Mahasiswa
Mahasiswa merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu bangsa. Mereka merupakan tonggak bagi pengembangan menuju masyarakat madani (civil society). Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perubahan yang terjadi pada suatu bangsa hampir selalu merupakan hasil inisiasi dari mahasiswa. Dalam sejarah Indonesia sendiri, mahasiswa selalu mengukir tinta emas perubahan ke arah yang lebih baik bagi Indonesia. Bisa kita lihat kembali buku sejarah kita tentang Taman Siswa, Sumpah Pemuda, Peristiwa Rengasdengklok, hingga Reformasi pada tahun 1998.
Saat ini merupakan momentum wajib bagi mahasiswa berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Hal ini disebabkan oleh kondisi bangsa yang sedang mengalami berbagai krisis, terutama dalam pengembangan sumber daya manusia. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat tujuan pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).(http://bz.blogfam.com/2006/05/menyoal_problematika_pendidikan.html Diakses pada tanggal 1 Maret 2007).
Kondisi Psikologis Mahasiswa
Secara psikologis, mahasiswa sedang berada pada sebuah fase transisi dari remaja akhir menuju dewasa awal. Pada masa ini mahasiswa mengalami perubahan yang penting bagi perkembangan psikososialnya. Menurut Erikson (1963, 1968), perkembangan psikososial pada usia seperti ini berada pada tahap identity versus identity confusion, yaitu tahap dimana mahasiswa tengah mengalami pencarian identitas diri. Mahasiswa mengacu kepada identitas yang berupa suatu prestasi atau penghargaan. Pada tahap ini pula, terdapat kesetiaan yang sangat tinggi terhadap komunitas yang ia ikuti, sehingga muncul rasa bangga dan pembelaan terhadap komunitas tersebut.
Pembinaan Asrama bagi Mahasiswa: Satu Gagasan
Dengan memperhatikan kondisi psikososial mahasiswa, maka diperlukan sebuah metode yang berpanduan pada karakteristik mahasiswa. Hal ini dapat difokuskan dalam membentuk sebuah kontrol sosial bagi mahasiswa untuk membentuk komitmen membangun bangsa. Seperti bahasan psikososial mahasiswa yang menekankan pada kesetiaan terhadap komunitas, maka perlu dibentuk sebuah komunitas dinamis yang dapat membangun komitmen tersebut.
Untuk memfasilitasi penekanan pada kontrol sosial dan kesetiaan terhadap komunitas, metode dapat diwadahi dalam sebuah pembinaan. Pembinaan yang dilakukan harus merupakan sebuah fasilitas yang dinamis menyesuaikan dengan karakteristik mahasiswa namun memiliki visi yang kuat untuk membentuk komitmen membangun bangsa. Secara teoritik, gagasan ini merupakan perpaduan antara dua jenis kelompok, yaitu primer dan sekunder. Pembinaan tersebut harus membentuk sebuah kelompok yang memiliki interaksi sosial yang intensif dan erat (ciri kelompok primer) sekaligus memiliki tujuan yang bersifat objektif dan rasional (sekunder).
Proses pembentukan komitmen membangun bangsa memiliki 3 variabel yang perlu dikaji. Ketiga variable tersebut antara lain, aspek komitmen, tahap pembentukan komitmen, dan pengaruh kelompok. Ketiga variable tersebut berinteraksi secara dinamis seiring dengan berjalannya waktu pembinaan sebuah kelompok.
PPSDMS Nurul Fikri: Suatu Studi Kasus
Salah satu fenomena yang menarik untuk menganalisa persoalan ini adalah munculnya lembaga-lembaga yang berfokus untuk membina mahasiswa. Salah satu lembaga yang sedang melakukan hal tersebut adalah Yayasan Nurul Fikri. Yayasan ini membuat sebuah program yang disebut Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) yang saat ini sudah berjalan tiga generasi. Proyek peradaban tersebut telah dibangun sejak tahun 2002. Saat ini PPSDMS memiliki perluasan yang cukup progresif. Pada saat ini pembinaan yang dilakukan telah menjamah 5 kota besar di Pulau Jawa yaitu Jakarta (Universitas Indonesia), Bandung (Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran), Yogyakarta (Universitas Gadjah Mada), Surabaya (Institut Teknologi Surabaya dan Universitas Airlangga), dan Bogor (Institut Pertanian Bogor). (www.ppsdms.org pada hari Selasa, tanggal 14 Februari 2007)
Selama dua tahun ini, perlahan tapi pasti mahasiswa PPSDMS memiliki prestasi yang luar biasa dalam bidang akademik maupun keorganisasian. Dengan visi membentuk pemimpin masa depan, PPSDMS menanamkan sebuah nilai cinta tanah air terhadap para pesertanya. Melalui berbagai pembinaan yang diberikan diharapkan para peserta mampu berbuat lebih bagi kemajuan bangsa Indonesia. Selama dalam pembinaan, para peserta dibentuk karakter kepemimpinannya dan diasah kepekaannya terhadap masalah sosial yang banyak terjadi di Indonesia.
Untuk memberikan paparan tentang studi kasus ini digunakan tiga poin pembahasan. Poin input untuk memahami karakteristik dan potensi mahasiswa yang dibina PPSDMS sebelum merasakan pembinaan. Poin proses pembentukan komitmen memaparkan dinamika proses pembentukan komitmen membangun bangsa pada peserta PPSDMS. Poin output mengulas tentang gambaran hasil pembinaan dari PPSDMS.
Input
Mahasiswa yang berhasil menjadi peserta pembinaan PPSDMS memiliki potensi yang di atas rata-rata. Dalam hal intelektual, mahasiswa yang berhasil menjadi peserta PPSDMS memiliki tingkat intelegensia yang tinggi dan kemampuan analisa yang kuat. Sedangkan dalam aspek sosial, para peserta adalah mahasiswa yang aktif dalam kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, memiliki kepedulian sosial tinggi, dan memiliki jiwa
Mahasiswa yang menjadi peserta PPSDMS juga diminta untuk dapat berkomitmen dengan program ini. Hal ini diminta ketika tes wawancara dan menjadi sebuah poin yang sangat menentukan diterimanya seorang mahasiswa menjadi peserta PPSDMS.
Proses Pembentukan Komitmen
Aspek-aspek komitmen. Pembinaan yang dilakukan dalam asrama memupuk rasa kecintaan, baik terhadap teman-teman asrama, PPSDMS, maupun bangsa Indonesia. Pola pembinaan dengan asrama seperti ini berhasil menyesuaikan dengan aspek psikososial mahasiswa. Pada tahap ini terdapat kesetiaan yang sangat tinggi terhadap komunitas yang diikuti, sehingga muncul rasa bangga dan pembelaan terhadap komunitas tersebut.
Tahap Pembentukan Komitmen. Setelah tujuh bulan berlangsung, secara umum proses pembentukan komitmen telah mencapai tahap menerima (acceptance) dan sedang mengalami proses menuju tahap berkomitmen (commitment). Tahap persiapan (preparation) dilewati peserta dengan cepat. Peristiwa yang yang sangat membantu peserta untuk mengalami akselerasi pembentukan komitmen tersebut adalah Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) I yang dilaksanakan di Jakarta. Momentum ini merupakan proses kontak pertama kali antara peserta dengan berbagai elemen PPSDMS, baik pengurus, alumni, maupun visi yang ingin dicapai PPSDMS. Selain itu, para peserta mendapatkan berbagai materi yang sangat menggugah dan memberikan perubahan pada pola pikir peserta. PKN merupakan sebuah sarana adaptasi yang efektif dan efisien untuk mengkomunikasikan visi dari PPSDMS.
Fenomena tentang brain drain dibahas dalam sebuah program kajian. Kajian ini memberikan beberapa fakta dan kasus mengenai para intelektual, baik dari negara muslim maupun Indonesia mengalami tragedi brain drain. Kajian ini menjadi sebuah poin terpenting untuk mewaspadai kejadian yang serupa. Semangat yang dibawa dalam kajian tersebut juga memupuk keinginan yang kuat untuk berkontribusi bagi bangsa, meskipun para peserta mendapatkan beasiswa di luar negeri nanti.
Pengaruh Kelompok. Seiring dengan dinamika proses pembentukan komitmen, pengaruh kelompok menjadi sebuah faktor penting. Pada asrama PPSDMS pengaruh kelompok memberikan sebuah tekanan positif menuju pembentukan komitmen. Dengan pengaruh positif ini pula proses pembentukan komitmen bisa lebih cepat, meskipun ada beberapa faktor yang juga membuat proses tersebut terhambat.
Kelompok ini memiliki pengaruh fasilitasi sosial bagi inidividu yang ada di dalamnya. Tugas-tugas yang diberikan memberikan dorongan bagi peserta untuk dapat memenuhinya meskipun secara kognitif tugas-tugas tersebut sulit dikerjakan. Fasilitasi sosial seperti ini jika dapat dimanfaatkan oleh masing-masing individu dapat memotivasinya untuk menguasai kompetensi yang selama ini belum ia kuasai. Selain itu, masing-masing peserta merasakan bahwa mereka berada di sekitar orang-orang hebat. Perasaan seperti itu dapat memberikan sebuah dorongan untuk melakukan hal yang positif.
Output
Dalam kehidupan kampus, semua peserta PPSDMS turut andil dalam pergerakan mahasiswa yang dapat diasosiasikan sebagai komitmen membangun bangsa. Selain itu para peserta juga melaksanakan aktivitas pembinaan yang memiliki arah langsung untuk mencari solusi atas permasalahan bangsa. Salah satu program rutinan asrama adalah pengembangan wawasan melalui televisi. Program ini menggunakan metode diskusi dan debat untuk menggagas sebuah solusi bagi masalah bangsa yang sedang aktual. Dalam program ini para peserta dilatih kepekaan dan daya analisisnya.
Aktivitas lain yang dapat menunjukkan komitmen membangun bangsa juga adalah dengan banyaknya prestasi yang diukir oleh para peserta. Beberapa diantaranya berhasil memasukkan opininya pada media cetak, baik pada taraf lokal maupun nasional. Opini tersebut merupakan sebuah gagasan solusi yang dihasilkan sesuai kompetensi peserta. Peserta yang lain ada yang memenangkan lomba-lomba karya tulis hingga dikirim ke luar negeri untuk menjadi duta bangsa.
Poin yang terpenting dan menjadi unggulan dari PPSDMS ini adalah terpeliharanya jaringan alumni PPSDMS. Para alumni diberikan pembinaan pasca asrama dan difasilitasi untuk membuat networking dengan para tokoh bangsa. Dalam prakteknya, beberapa alumni PPSDMS yang sudah bekerja mulai memberikan sumbangan finansial bagi PPSDMS. Beberapa diantaranya juga menjadi pengurus PPSDMS yang memiliki semangat juga untuk memfasilitasi para peserta mengembangkan potensi dan mengarahkannya untuk membangun bangsa. Seorang alumni yang sekarang sedang bergabung dengan sebuah yayasan bahkan mengatakan bahwa ia senang untuk berkontribusi bagi rakyat.
(Fiqih Santoso, Psikologi Unpad, 2004)
Tuesday, April 3, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment