Tuesday, April 3, 2007

Mendekonstruksi Kepahlawanan Sejati

Hari pahlawan sudah berlalu kira-kira sebulan lebih. Namun hal ini kurang bisa dijadikan momentum oleh bangsa Indonesia untuk membenahi diri. Pahlawan rasanya tinggal menjadi kerangka sejarah yang segera dilupakan dan dibuang ke dalam selokan lahat yang gelap. Padahal ruh pahlawan harus senantiasa hidup sebagai pelecut kita untuk bangkit dari keterpurukan multidimensi saat ini.
Banyak frasa dan istilah yang beredar bebas di masyarakat Indonesia dengan kata utama ‘pahlawan’. Mulai dari pahlawan revolusi, pahlawan kemerdekaan, hinga pahlawan kesiangan, pahlawan tanpa tanda jasa, bahkan pahlawan bertopeng-nya Sinchan. Frasa dan istilah mengenai ‘pahlawan’ seperti demikian memberikan pengaruh untuk terciptanya banyak persepsi yang melengkapi kata ‘pahlawan’ tersebut dengan atribut-atribut tertentu. Kebiasaan masyarakat untuk menambahkan atribut sebagai bumbu dalam pemaknaan kata ‘pahlawan’ inilah yang kemudian memberikan aura masing-masing kepada setiap penabur bumbu tersebut.
Saat ini, banyak atribut yang menyertai kata ‘pahlawan’ diberikan dengan batasan-batasan yang sangat sempit. Hal itu menimbulkan kegamangan yang cukup besar di kalangan yang sangat menghormati jasa-jasa pahlawan. Banyak masyarakat yang membumbui ‘pahlawan’ dengan atribut wafat dan populer. Dua hal tersebut merupakan sebuah realita bagaimana cara bangsa Indonesia saat ini menghargai para pahlawannya.
Terlepas dari kajian formal linguistik tentang ‘pahlawan’ beserta atribut-atribut yang menyertainya, wafat dan populer melukiskan sebuah kekerdilan makna. Dengan atribut wafat, seseorang yang memiliki jiwa dan badan yang masih muda menemukan jalan buntu untuk menikmati kepahlawanan yang diusahakannya. Jika digunakan atribut populer, maka segera saja nuansa oportunis menjadi semerbak membunuh mimpi para pencari kepahlawanan sejati yang mendambakan kebahagiaan hakiki, bukan menjadi terkenal ataupun menjadi sorotan masyarakat.
Sebenarnya ada sebuah tawaran yang menarik dalam memberikan atribut pada kata ‘pahlawan’. Hal ini dapat menjadi sebuah nilai yang mungkin saja dapat merubah kepribadian masyarakat Indonesia saat ini menjadi lebih baik dalam menghadapi hari-hari ke depan. Kita dapat menempatkan sebuah kata menjadi atribut pemaknaan bagi kata yang lain dengan mengambil intisari dari berbagai pemaknaan yang terungkap maupun tersingkap. Intisari yang sebenarnya layak melekat pada kata ‘pahlawan’ adalah pengorbanan, prestasi yang lebih besar dibanding orang-orang seusianya, serta ketulusan untuk mengaktualisasikan diri.
Pengorbanan memberikan rasa yang elegan pada kata ‘pahlawan’. Hal ini meliputi sebuah keinginan dan kesanggupan untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Penanaman atribut pengorbanan pada ‘pahlawan’ dapat menggerakkan hati para pencari hakikat kepahlawanan hingga dengan konkrit diwujudkan dengan amal yang tak lagi mempertimbangkan keuntungan pribadi.
Kedua, atribut prestasi yang lebih besar dibandngkan orang seusianya memberikan nuansa eksklusif. Serupa tapi tak sama dengan atribut wafat dan populer seperti di atas, nuansa eksklusif ini tidak membatasi orang untuk melakukan hal terbaik. Semangat ini menyentuh titik sensitif dari dinamika jiwa seseorang untuk terus menerus melakukan pembaruan persepsi dan memandang segala hal dengan lebih positif. Kegagalan tak akan menjadi batu penghalang, namun sebagai batu pijakan untuk lebih menyempurnakan prestasi dan kemudian bertekad untuk menjadi yang terbaik.
Ketiga, atribut ketulusan untuk mengaktualisasikan diri menggambarkan tentang putihnya cita-cita sang pahlawan. Pemaknaan seperti ini membentuk sebuah prinsip yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari itu. Dalam perspektif spiritual, ketulusan dapat membuka belenggu hati sehingga jiwa dapat langsung bersentuhan dengan cahaya Sang Pencipta. Hal ini senantiasa memberikan pengaruh yang sangat baik dalam mengembangkan potensi hati, akal, dan jasadnya sehingga dapat mengoptimalkannya menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat dalam merubah lingkungannya ke arah yang lebih baik.
Dalam tiap jenak waktunya, seorang pahlawan berhasil menjadi pemimpin yang amanah terhadap hari-harinya. Setiap detik takkan pernah terlewat dengan kesia-siaan. Setiap kisah selalu berusaha dijadikan sebagai menu utama penelusuran akal sehatnya dalam mencari hikmah. Setiap momentum berhasil dimanfaatkan menjadi peluang amal dan terus menerus bertualang untuk mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin.
Sebenarnya mahasiswa sangat berpotensi untuk menikmati kepahlawanannya. Ketiga atribut tentang pahlawan di atas bisa dengan cukup mudah dimiliki mahasiswa. Hal ini bisa kita analisis melalui beberapa indikator, yaitu:
Idealisme. Mahasiswa masih memiliki pemikiran tentang gambaran ideal dan cenderung perfeksionis dalam mengkritisi lingkungan sosialnya. Sehingga seringkali pendapatnya sangat kritis dan radikal (baca : mendasar) dalam menganalisa suatu permasalahan sosial. Pemikiran seperti ini merupakan kemurnian dari suatu keadaan yang sempurna bagaikan air yang murni dan jauh dari keinginan-keinginan oportunis dan egois. Dengan indikator ini, mahasiswa memiliki kemauan untuk memberikan pengorbanan.
Kecerdasan. Kebanyakan mahasiswa memiliki taraf kecerdasan yang relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat yang lain. Hal ini menjadi sebuah jaminan yang kuat untuk mengandalkan solusi yang diberikan mahasiswa terhadap berbagai masalah sosial yang ada. Analisis seperti ini memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana seorang mahasiswa dapat berprestasi dengan maksimal bahkan bisa menjadi yang terbaik dibanding orang seusianya.
Kekuatan. Tidak disanksikan lagi bahwa mahasiswa memiliki kekuatan fisik yang besar. Pada tahap ini perkembangan fisik seorang mahasiswa hampir menyentuh titik optimalnya dibanding perkembangan sepanjang kehidupannya. Kekuatan ini memberikan kecemerlangan dari pemfungsian segala potensi dasar yaitu hati dan akal yang kemudian disempurnakan oleh jasad yang prima.
Hal yang terpenting untuk merubah suatu bangsa adalah dengan bersatu. Kepahlawanan dari mahasiswa takkan mampu bermanfaat dan dirasakan masyarakat luas jika potensi yang ada pada tiap orang tidak disinergiskan. Seorang mahasiswa yang bersinergis dengan seorang mahasiswa lain dapat menghasilkan tidak hanya dua kekuatan, bahkan tiga dan seterusnya. Bayangkan saja jika mahasiswa seluruh Indonesia yang berjumlah jutaan berhasil membentuk kesinergisan yang baik. Mulailah dari bermimpi dan bercita dan kemudian membentuk pribadi dan lingkungan yang penuh dengan pengorbanan, prestasi, dan keikhlasan sebagai pahlawan sejati.

Fiqih Santoso
Jatinangor, 14 Desember 2006